Senin, 20 Agustus 2012

Legenda Toar Lumimuut & WATU PINAWETENGAN




Legenda Toar Lumimuut
Malesung sebagai “Tu’ur in Tana” mengartikan Pangkal atau Pasak Bumi ataupun Pusat Bumi yang filosofinya sama dengan kebudayaan China “Zhonggoan” atau “Tionggoan” atau lain kata dari “Tiongkok” yang berarti “Pusat dunia” disebut sebagai Mah-Watu. Ternyata ditempat tersebut telah hancur berantakan, dan yang tersisa hanyalah sebatang pohon Malesung, yaitu pohon berkayu keras yang sangat baik untuk dibuatkan rumah ataupun perahu. negeri yang namanya Pinonto’an dimana Toar dan Lumimu’ut pertama kali tinggal “Pinonto’an (=Nietakan) dipegunungan Wulur-Mahatus, karena terjadi bencana alam maka mereka ber-pindah2 kearah utara dan akhirnya mereka menetap didaerah sekitar gunung Tonderukan, diantara Tumaratas dan Kanonang. Anak2 Toar- Lumimuut: Lumimu’ut mengandung dan melahirkan anak2 kembar sbb : I. Kelahiran pertama - Kembar 9 anak ; II. Kelahiran kedua - Kembar 9 anak ; Kelompok anak2 ini disebut sebagai : “Se Maka Rua Siyow”. artinya yang 2 kali 9. III. Kelahiran ketiga - Kembar 7 anak ; IV. Kelahiran keempat - Kembar 7 anak ; V. Kelahiran kelima - Kembar 7 anak ; Kelompok anak2 ini disebut sebagai : “Se Maka Telu Pitu” artinya yang 3 kali 7. VI. Kelahiran keenam - Kembar 3 anak ; tetapi disini tidak disebut sebagai : SE-MAKAESA atau SE-MAKASA, tetapi kelahiran ini disebut sebagai “Se Pasiyouwan”, sebab setiap satu anak lahir, ditandai dengan 9 kali bunyi siulan burung Manguni (=burung Wala), sehingga kelompok anak2 ini dinamai sesuai jumlah siulan burung Manguni tersebut. Setelah keturunannya berkembang biak dan timbulnya pertikaian2 antar Poea’ di-perbatasan2 wilayah pertanian, maka diadakanlah pembagian wilayah disuatu tempat yang dinamakan “WATU PINAWETENGAN”terletak dikaki gunung Wulur Mahatus (Watu = Batu ; Pina = Tempat ; Wetengan = Pembagian). Tua’um Banua berkumpul disuatu tempat lalu melakukan upacara pembagian wilayah2 pertanian kepada masing2 Poea’ yang pada waktu itu baru terdiri atas 4 Poea’ yaitu Tonsea, Tombuluk, Tountumaratas dan Tountemboan. Poea’ à Merupakan satu wilayah dengan dialek bahasa yang sama, misalnya : Poea’ Tonsea ; Poea’ Tombuluk ; Poea’ Toulour ; Poea’ Tonsawang ; Poea’ Tountemboan ; Poea’ Panosakan ; Poea Pasan dan Poea Bantik ; Komunitas ini tidak ada pemimpinnya karena bukan merupakan wilayah pemerintahan. ..
Malesung sebagai “Tu’ur in Tana” mengartikan Pangkal atau Pasak Bumi ataupun Pusat Bumi yang filosofinya sama dengan kebudayaan China “Zhonggoan” atau “Tionggoan” atau lain kata dari “Tiongkok” yang berarti “Pusat dunia” disebut sebagai Mah-Watu. Ternyata ditempat tersebut telah hancur berantakan, dan yang tersisa hanyalah sebatang pohon Malesung, yaitu pohon berkayu keras yang sangat baik untuk dibuatkan rumah ataupun perahu. negeri yang namanya Pinonto’an dimana Toar dan Lumimu’ut pertama kali tinggal“Pinonto’an (=Nietakan) dipegunungan Wulur-Mahatus, karena terjadi bencana alam maka mereka ber-pindah2 kearah utara dan akhirnya mereka menetap didaerah sekitar gunung Tonderukan, diantara Tumaratas dan Kanonang. Anak2 Toar- Lumimuut:Lumimu’ut mengandung dan melahirkan anak2 kembar sbb :I. Kelahiran pertama - Kembar 9 anak ;II. Kelahiran kedua - Kembar 9 anak ;Kelompok anak2 ini disebut sebagai : “Se Maka Rua Siyow”. artinya yang 2 kali 9.III. Kelahiran ketiga - Kembar 7 anak ;IV. Kelahiran keempat - Kembar 7 anak ;V. Kelahiran kelima - Kembar 7 anak ;Kelompok anak2 ini disebut sebagai : “Se Maka Telu Pitu” artinya yang 3 kali 7. VI. Kelahiran keenam - Kembar 3 anak ; tetapi disini tidak disebut sebagai : SE-MAKAESA atau SE-MAKASA, tetapi kelahiran ini disebut sebagai “Se Pasiyouwan”, sebab setiap satu anak lahir, ditandai dengan 9 kali bunyi siulan burung Manguni (=burung Wala), sehingga kelompok anak2 ini dinamai sesuai jumlah siulan burung Manguni tersebut. Setelah keturunannya berkembang biak dan timbulnya pertikaian2 antar Poea’ di-perbatasan2 wilayah pertanian, maka diadakanlah pembagian wilayah disuatu tempat yang dinamakan “WATU PINAWETENGAN”terletak dikaki gunung Wulur Mahatus(Watu = Batu ; Pina = Tempat ; Wetengan = Pembagian). Tua’um Banua berkumpul disuatu tempat lalu melakukan upacara pembagian wilayah2 pertanian kepada masing2 Poea’ yang pada waktu itu baru terdiri atas 4 Poea’ yaitu Tonsea, Tombuluk, Tountumaratas dan Tountemboan.Poea’ à Merupakan satu wilayah dengan dialek bahasa yang sama, misalnya : Poea’ Tonsea ; Poea’ Tombuluk ; Poea’ Toulour ; Poea’ Tonsawang ; Poea’ Tountemboan ; Poea’ Panosakan ; Poea Pasan dan Poea Bantik ; Komunitas ini tidak ada pemimpinnya karena bukan merupakan wilayah pemerintahan. ..

Menerjemahkan Legenda To'ar dan Lumimuut 
disusun oleh Capt. A.H.Tumbel /MasterMarinir
Manusia sampai sekarang ini masih tetap mencari jati dirinya masing2, tidak terkecuali orang2 Minahasa, yang sampai sekarang ini masih tetap mencari dari mana sebenarnya nenek moyang mereka berasal. Berhubung tidak ada atau belum ditemukannya bentuk2 batu bertulis didaerah ini, menunjukkan bahwa Nenek moyang orang Minahasa belum mengenal tulisan. Perlu diketahui bahwa budaya tulisan diseluruh wilayah Indonesia dimulai semenjak masuknya kebudayaan Hindu yang sesuai catatan sejarah dimulai di Kalimantan (Disekitar abad ke-4) dengan adanya prasasti2 peninggalan Kerajaan Hindu tertua yakni “KUTAI”, sehingga dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa nenek moyang orang Minahasa termasuk dalam golongan “Proto Malayu” karena baru mengenal kebudayaan batu berupa menhir dan batu2 bergambar seperti pada Batu Pinabetengan, ataupun batu2 bergambar pada Waruga2, dan belum sampai membuat peralatan dari logam. Sebagai akibat dari ketiadaan data2 bertulis dari Nenek moyang orang Minahasa, maka penelitian beralih ke legenda2 kuno yang tertinggal diberbagai anak suku diseluruh Minahasa. Dari penelusuran keberbagai Pakasaan (=Distrik) diseluruh Minahasa dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.      Orang Minahasa secara keseluruhan adalah Keturunan dari Toar dan Lumimu’ut. (Dimana Toar sebagai Amang atau Ayah dan Lumimu’ut sebagai Inang atau Ibu).
2.      Sebahagian besar mendongengkan bahwa Toar adalah anak dari Lumimu’ut.
3.      Orang Minahasa adalah orang pendatang didaerah Minahasa dan mereka berasal dari arah barat Minahasa. (Lihat bahwa Lumimu’ut datang dari arah barat dan Ia sendiri dihamilkan oleh angin Barat yang bertiup kencang).
4.      Masuknya migrasi ini ke Minahasa tidak hanya dalam satu group saja, tetapi kedatangan mereka secara bergelombang dalam berbagai periode waktu yang berbeda, dimana ada yang datang sebelum adanya pengaruh agama Hindu,  sehingga mereka belum mengenal adanya istilah Raja dan Ratu ; Pada masa itu pemimpin mereka disebut sebagai “DOTU” yang berakar dari kata DATU ataupun TUA’ yang berarti “YANG DI-TUA-KAN” ataupun PONGGOLA (=bahasa di GORONTALO) dan PANGULO (=istilah di FILIPINA) yang berakar dari kata “PENGHULU” dalam bahasa Melayu tua. Selanjutnya ada group/gelombang yang masuk setelah adanya pengaruh Hindu dinegeri asalnya sehingga didalam Legendanya sudah memasukkan istilah Raja dan Ratu.
5.      Setelah keturunannya berkembang biak dan timbulnya pertikaian2 antar Poea’ di-perbatasan2 wilayah pertanian, maka diadakanlah pembagian wilayah disuatu tempat yang dinamakan “WATU PINAWETENGAN” yang terletak dikaki gunung Wulur Mahatus (Watu = Batu ; Pina = Tempat ; Wetengan = Pembagian).

Versi2 legendaToar dan Lumimu’ut cukup banyak jumlahnya diseluruh daerah  di Minahasa, dan diperkirakan ada sekitar 92 versi ceritera diberbagai kampung, tetapi pada intinya adalah sbb :
Versi-1 : Yang inti ceriteranya sebagai berikut :
1.      Pada suatu waktu dizaman dahulu dipantai barat Pegunungan Wulur Mahatus terdamparlah    sebuah batu karang yang indah bentuknya ; Ditempat tersebut pada waktu itu belum berpenghuni.
2.      Pada suatu siang yang panas, batu karang itu mengeluarkan keringat, dan dari air keringat itu keluarlah seorang wanita cantik. Ia berdiri diatas batu karang tersebut dan ber-doa sbb : “OH TUHAN YANG MAHA BESAR, JIKA BENAR SAYA ADALAH KETURUNAN-MU TUNJUKKANLAH DIMANA SAYA BERADA DAN BERIKANLAH SAYA SEORANG PENDAMPING”. Setelah selesai berdoa, batu karang tersebut terbelah dan muncullah seorang WALIAN WANITA (=Pendeta agama Alifuru), yang berkata bahwa : Saya diciptakan untuk menemani dan menjaga Engkau, dan kepadamu kuberi nama “LUMIMU’UT” yang artinya Berkeringat ; Namaku adalah “TARENEIMA” atau “KAREMA”, dan engkau nantinya akan menikah dengan seorang WALIAN WANGKO (=Pemimpin agama yang Agung), yang akan melahirkan banyak anak2 yang giat bekerja memeras keringat.
3.      Pada suatu hari Karema memerintahkan Lumimu’ut untuk menghadapkan wajahnya kearah Selatan, lalu Karema memanjatkan Doa kepada Opo Wailan Wangko agar Si-Opo memberkati Lumimu’ut, dan setelah menunggu beberapa sa’at, ternyata tidak ada perubahan yang terjadi ; Demikian selanjutnya melalui cara yang sama Lumimu’ut disuruh menghadapkan wajahnya ke Timur, lalu ke Utara, yang ternyata tidak juga terjadi perubahan pada diri Lumimu’ut, dan akhirnya Lumimu’ut disuruh menghadapan muka ke Barat sewaktu angin Barat sedang berhembus kencang, dan ternyata timbul kelainan pada diri Lumimu’ut dimana Ia telah mengandung atau “MAWA’AT” yang berarti menjadi hamil.
4.      Setelah tepat waktunya, Lumimu’ut melahirkan seorang anak laki2 yang oleh Karema diberi nama “TO’AR” (yang artinya bernilai tinggi) lalu dididik oleh Karema untuk menjadi Walian Wangko (=Pendeta Agung) atau Tona’as Wangko (=Pemimpin Besar) ; Dalam kehidupannya Toar bekerja bertani dan berburu.
5.      Sampailah pada suatu sa’at, Karema memerintahkan agar Toar dan Lumimu’ut harus berpisah dan mengembara kearah yang saling berseberangan, dengan membekali masing2 dengan tanda pengenal berupa tongkat, dan pesannya bahwa apabila bertemu dengan orang lain yang ukuran tongkatnya tidak sama panjang, maka mereka boleh membentuk rumah tangga, karena berbeda keluarga, tetapi bila ukurannya sama panjang, tidak boleh menikah, karena masih satu keluarga. Pada waktu itu Lumimu’ut dibekali dengan tongkat dari kayu keras jenis Tawa’ang, sedangkan To’ar dibekali dengan tongkat dari batang Tuis yaitu sejenis tanaman berbatang lunak yang mirip tanaman Langkuas yang ada kemungkinkanan bisa bertumbuh.
6.      Setelah bertahun-tahun mengembara, maka pada suatu malam dibulan Purnama ternyata mereka bertemu kembali pada suatu tempat didaerah gunung Lolombulan (=Bola Emas atau bulan Purnama) ; Dan karena pengukuran tongkat bawaan masing2 ternyata tidak lagi sama panjang sebab batang Tu’is yang dibawah oleh To’ar telah bertambah panjang, maka mereka memutuskan untuk menikah, dan sehabis melakukan upacara pernikahan, mereka berjalan kearah selatan untuk mencari Karema, tetapi karena tidak bertemu maka mereka menetap didaerah yang banyak gunung2 yang berjajar seperti rumpun bambu kecil (=Bulu Tui) yang mereka sebut sebagai bulu yang ber-ratus2 dimana dalam bahasa Tontemboan disebut sebagai Wulud Mahatus. (Bandingkan dengan barisan pegunungan Maratus dalam bahasa Dayak di Kalimantan Timur).
7.      Selanjutnya sesuai janji Karema bahwa mereka akan mempunyai banyak anak menjadi kenyataan, dimana Lumimu’ut mengandung dan melahirkan anak2 kembar sbb :
I.                    Kelahiran pertama  - Kembar 9 anak ;
II.                 Kelahiran kedua      - Kembar 9 anak ;
Kelompok anak2 ini disebut sebagai  : SE-MAKARUA SIOUW  artinya yang  2 kali 9.
III.               Kelahiran ketiga     - Kembar 7 anak ;
IV.              Kelahiran keempat - Kembar 7 anak ;
V.                 Kelahiran kelima    - Kembar 7 anak ;
Kelompok anak2 ini disebut sebagai : SE-MAKATELU PITU artinya yang 3 kali 7.     
VI.              Kelahiran keenam  - Kembar 3 anak ; tetapi disini tidak disebut sebagai : SE-MAKAESA atau SE-MAKASA, tetapi kelahiran ini disebut sebagai SE-PASIYOUWAN, sebab setiap satu anak lahir, ditandai dengan 9 kali bunyi siulan burung Manguni (=burung Wala), sehingga kelompok anak2 ini dinamai sesuai jumlah siulan burung Manguni tersebut.

8.      Selanjutnya tidak perlu diceriterakan lagi, karena sudah tidak berhubungan dengan asal muasal mereka.

Versi-2 dari Tombulu :
1.      Adalah sekelompok besar keluarga pelaut yang mendarat disebelah barat tanah Malesung yang terletak disebelah barat laut tanah Minahasa sekarang.
2.      Pemimpin keluarga itu bernama Ratu Sumilang (Istilah Ratu disini sudah menunjukkan adanya pengaruh Hindu) dan Ia diikuti oleh Walian Karema (=Pendeta wanita agama Alifuru) beserta anak gadisnya bernama Lumimu’ut ; Selanjutnya diceritakan bahwa Lumimu’ut menikah dengan Raja Sumendap (Istilah Raja disini makin jelas menunjukkan pengaruh agama Hindu), sehingga mereka mendapatkan anak yang dinamai Touareghes (=Orang angin) yang disingkat menjadi Toar.
3.      Pertemuan Raja Sumendap dengan Lumimu’ut terjadi sewaktu Lumimu’ut sedang mandi disebuah mata air dan sang Raja Sumendap menyembunyikan kain bajunya sehingga Lumimu’ut harus bertekuk lutut untuk menjadi isteri Sumendap. (Bentuk cerita sedemikian sudah meluas diseluruh wilayah Indonesia/Melayu dalam bentuk Dongeng 7 bidadari, ataupun dongeng Jaka-Tarub dan bidadari).
4.      Kesimpulan ceritera ini sudah dapat dipastikan bahwa tidak mempunyai isyarat yang akan menunjukkan tentang negeri asal nenek moyang orang Minahasa, disamping ceritera ini merupakan kejadian2 yang muncul kemudian dari ceritera2 kuno Minahasa, sebab disini sudah berbicara tentang istilah Raja : Sedangkan bentuk pemerintahan purba sampai moderen di Minahasa tidak mengenal adanya Raja yang merupakan tanda adanya pengaruh kebudayaan Hindu yang datang lebih kemudian. Pengertian kata Malesung sebagai “Tu’ur in Tana” mengartikan Pangkal atau Pasak Bumi ataupun Pusat Bumi yang filosofinya sama dengan kebudayaan China “Zhonggoan” atau “Tionggoan” atau lain kata dari “Tiongkok” yang berarti “Pusat dunia” sehingga sangat mungkin adanya pengaruh Mongol didalam kebudayaan orang Minahasa, akan tetapi mereka tidak bergerak secara langsung dari daratan China ke tanah Minahasa, karena pasti mereka akan tersangkut terlebih dahulu di Kalimantan ataupun di kepulauan Filipina yang telah membungkus tanah Minahasa seperti perisai. Sejarah jelas menerangkan bahwa penduduk di Kalimantan dan bahkan di Sumatera berasal dari dataran tinggi Yunan di Vietnam, dan Bangsa Indo-China di Vietnam ini jelas berasal dari China dan termasuk didalam Ras Mongoloid.
5.      Kebudayaan Malesung menurut penulis adalah kebudayaan Pra-Hindu, yang tidak mengenal istilah Raja, tetapi mereka lebih mengenal Datu atau Dotu ; Jadi mereka termasuk didalam masyarakat Proto-Melayu.
6.      Kesimpulan penulis : Bahwa versi Tombuluk ini tidak memberikan isyarat kalau berasal dari daerah manakah nenek moyang orang Minahasa pada awalnya ; Apalagi diceritakan bahwa puteri dari Lumimu’ut yang bernama Lingkanbene menikah dengan orang Italia bernama Arunz Crito ; Cerita ini dengan demikian semakin bias, karena sejarah dunia menyatakan bahwa Negara Itali baru muncul setelah Romawi Barat runtuh, jadi disekitar abad ke-12 ; Dan belum ada catatan sejarah expedisi Italia yang tercatat menuju Indonesia. Kalau kita bandingkan dengan kebudayaan di Filipina selatan dimana Dewa perempuan atau Dewi disebut sebagai “INGKANTO” maka jelas terlihat bahwa masih lebih dekat dengan sebutan Lingkan, atau Pingkan dan bahkan Ingkan ; Sehingga bisa menjadi isyarat akan adanya pengaruh dari Utara yang datang belakangan, akan tetapi ceritera yang lebih tua mengisyaratkan bahwa mereka berasal dari arah Barat tanah Minahasa sesuai Lagenda Versi-1 dimuka, jadi bukan berasal dari Filipina.

Versi-3 dari Tonsea :
1.      Diwilayah ini dizaman dahulu kala pernah terjadi air bah besar (=sangat mungkin terjadi Tsunami besar) ; Manusia dan makhluk hidup lainnya musnah, dan yang selamat adalah Karema yang sempat mencapai salah satu puncak bukit yang berada didekat pantai beserta sejumlah binatang liar dan burung2. Sekonyong-konyong terlihat ada perahu yang terkatung-katung diair laut yang ternyata ditumpangi oleh seorang wanita mudah yang sedang dalam keadaan hamil ; Perahu itu tadinya memuati satu keluarga besar, tetapi telah menjadi korban keganasan air bah. Karema menerima wanita itu yang kemudian memberi nama Lumimu’ut yang artinya adalah si-cantik yang berhasil menyelamatkan diri dari musibah.
2.      Karema hanya hidup bersama binatang2 liar dan burung2, sehingga Ia telah mempelajari tanda2 beserta isyarat2 yang diberikan oleh binatang2 itu, terutama mengartikan bunyi dari burung Manguni atau burung Wala sebab Karema pada sebenarnya adalah seorang Walian wanita atau Pendeta agama Malesung yang oleh orang Belanda disebut sebagai Alifuru.
3.      Setelah itu Lumimu’ut melahirkan seorang bayi laki2 yang diberi nama Tou-Aru dan selanjutnya nama itu berubah menjadi Touar yang berarti “Pemberani yang berperisai”.
4.      Setelah berakhirnya air bah besar yang berlangsung cukup lama, maka mereka mencari tempat asal mereka yang disebut “Tu’ur-in tana” (=Pusat Dunia) yang disebut sebagai Mah-Watu. Ternyata ditempat tersebut telah hancur berantakan, dan yang tersisa hanyalah sebatang pohon Malesung, yaitu pohon berkayu keras yang sangat baik untuk dibuatkan rumah ataupun perahu.

Versi-3 dari Dr.N.Adriani :
1.      Pada mulanya ditengah laut terdapat batu karang besar, yang disinari matahari hingga mengeluarkan keringat lalu menimbulkan busa, yang oleh tiupan angin, busa itu menggumpal dan membentuk sebutir telur.
2.      Oleh panasnya sinar matahari maka menetaslah telur itu yang memunculkan seorang anak perempuan, dimana anak itu hidup dari angin sehingga menjadi besar.
3.      Ketika Ia menjadi dewasa diatas batu karang itu, tiba2 Ia bertemu dengan seekor burung gagak yang sedang menggenggam sepotong ranting ; Lalu Ia ditolong oleh si Burung Gagak untuk dapat mengambil segenggam tanah dari Pulau Sosiru/Nyiru (=Rijstwan) yang berada diseberang dari batu karang dimana Ia berada.
4.      Setelah Ia kembali keposisi batu karang, maka dihamburkan genggaman tanah yang Ia bawa dari pulau Sosiru, dimana tanah tersebut berkembang menjadi daratan Minahasa.
5.      Selanjutnya Si Wanita yang tidak diberitahukan namanya itu naik keatas sebuah gunung tinggi yang terletak diselatan tanah Minahasa, dan membiarkan dirinya ditiup oleh “Angin Barat” hingga Ia mengandung dan melahirkan anak laki2 yang pada akhirnya setelah sang anak itu menjadi dewasa, maka mereka berpisah dan bertemu kembali lalu menikah. Demikianlah bentuk cerita selanjutnya yang sesuai dengan legenda2 dari versi2 lain, hanya nama2 tidak disebutkan dalam legenda ini.

Versi-4 dari Ratahan :
1.      Pada suatu waktu yang lampau terjadilah air bah besar dikawasan Malesung, dan ketika itu ada seorang Wanita bernama Karema yang sedang menyelamatkan diri diatas puncak gunung yang tinggi. Air bah tersebut naik terus sehingga daratan yang ada digenanginya semua, akibatnya Karema menjadi ketakutan, lapar lalu pingsan.
2.      Sewaktu pingsan itu Karema bermimpi bahwa air bah telah redah dan surut, lalu Ia turun dari tempat perlindungannya, dan menemukan jalan yang berujung kesuatu kebun yang banyak tetanamannya ; Disitu Ia mendapatkan buah semangka, lalu memakannya untuk menghilangkan rasa laparnya.
3.      Setelah selesai makan datanglah yang empunya kebun untuk mengambil buah samangkanya, dimana Karema sudah bersembunyi dibalik pohon semangka tersebut. Sewaktu akan dipotong buah itu, tiba2 Karema berteriak agar jangan dipotong karena Ia berada didalamnya.
4.      Selanjutnya pemilik kebun menanyakan perihal keberadaannya dikebun itu, dan diceritakan bahwa Ia sedang menyelamatkan diri dari air bah, lalu sampailah dikebun ini dan karena merasa sangat lapar maka dipetiknya buah semangka itu dan dimakannya.
5.      Pemilik itu menyatakan bahwa Karema berasal dari dunia bawah, sehingga karena itu Ia harus dibawa menghadap Raja Konoan, dan dikatakan bahwa manusia2 didunia bawah telah melakukan durhaka dan melawan Motuntu (=Yang Maha Tinggi) sehingga kalian dihukum dengan air bah yang menenggelamkan kelaut, tetapi untuk kamu, tidak usah takut lagi dan karena itu engkau harus kembali ketempat asalmu, dimana engkau akan bertemu dengan Timuleng dan temannya Rumuat ; Bila engkau telah bertemu dengan mereka maka sampaikan petunjukku agar mereka mengadakan ibadah (=mutogoi) kepada Motuntu dan memberikan persembahan (=musiwi). Setelah itu Karema terbangun dari tidurnya dan ternyata air bah telah hilang, sehingga Ia mencari tempat tinggalnya.
6.      Dalam pertemuan antara Karema dan Timuleng serta Rumuat didalam suatu mimpi, Karema ditanyakan oleh Timuleng kalau siapakah lelaki yang telah menghamilinya?, tetapi Karema tidak memberitahukan kepadanya, sehingga karena marahnya Timuleng menyatakan bahwa semenjak hari ini namamu bukan lagi Karema (yang berarti Terang), tetapi Limimu’ut (yang berarti engkau harus menanggung kesulitan rumah tangga).
7.      Selanjutnya Lumimu’ut melahirkan anak lelaki yang diberi nama Toar (Yang artinya Angin Badai).
8.      Ceritera selanjutnya sama seperti versi-1 dimana mereka berpisah dan setelah bertemu, mereka menikah karena ukuran batang tu’is-nya sudah tidak sama panjang lagi…. dst.

Demikianlah ke-empat versi yang kami pilih untuk dianalisa tentang negeri asal dari nenek moyang orang Minahasa. Kesimpulan dari ceritera ini adalah isinya telah dipengaruhi ajaran agama Hindu dan agama Kristen karena ada istilah dunia atas dan dunia bawah serta pengaruh Kristen karena adanya perintah melaksanakan Ibadah dan persembahan serta dosa dan penghukuman, dan diawal ceritera ini tidak ada isyarat yang mengindikasikan dari arah mana mereka berasal, tetapi Karema sudah berada ditanah Malesung.
Selanjutnya kami akan coba menterjemahkan isyarat2 yang terkandung didalam Legenda Versi-1  yang kelihatannya ada isyarat2 logis yang menunjukkan tentang asal muasal nenek moyang orang Minahasa, dan untuk itu perlu kita tarik unsur2 yang merupakan benang merah dari ceritera itu, sbb :
1.      Yang pertama muncul ditanah Minahasa adalah si Wanita yaitu Karema dan Lumimu’ut.
2.      Mereka datang lewat air atau lewat laut ; Jadi mereka datang dengan menggunakan kendaraan laut yang sangat mungkin berupa perahu dari batang kayu, dimana mereka terdampar dipantai barat tanah Minahasa yang saya perkirakan adalah salah satu pantai dari antara pantai2 berikut ini, yaitu dari Pantai Poigar, pantai Teluk Amurang, pantai Tumpaan hingga kepantai Tombariri, yang merupakan pantai penghalang gerakan gelombang dan angin yang berasal dari arah Barat atau dari Kalimantan Timur.
3.      Arah datangnya mereka adalah dari Barat, berarti mereka berasal dari Kalimantan Timur, dimana hal ini bersesuaian dengan sirkulasi arus tetap di Laut Sulawesi yang berlangsung sepanjang tahun dan merupakan kelanjutan dari arus Equator utara yang datang dari Samudera Pacifik, lalu masuk lewat Laut Filipina, menyusur pantai selatan kepulauan Sulu, lalu membelok kearah selatan disekitar Tarakan, dan menyusur pantai Kalimantan Timur, lalu membelok kearah timur dibagian utara dari Tanjung Mangkalihat dan bergerak kearah timur hingga menabrak tikungan pulau Sulawesi disekitar pantai Buol dan Toli-Toli, lalu menyusur sepanjang pantai utara dari Jazirah Sulawesi Utara dan naik kearah utara di-pulau2 Sangir-Talaud. (Untuk jelasnya agar perhatikan peta arus terlampir). Diwaktu musim angin barat didaerah ini yakni disekitar akhir tahun, maka gelombang yang menuju kearah Timur semakin kuat yang diperkuat lagi dengan adanya hembusan angin Barat yang kencang (yaitu angin yang berasal dari Barat dan menuju kearah Timur sesuai Hukum Buoys Ballot dalam Ilmu cuaca), sehingga sampai sekarang pada musim2 sedemikian kita masih bisa menemukan adanya batang2 kayu besar yang berasal dari Kalimantan Timur yang terdampar disepanjang pantai yang saya sebutkan diatas, dan bahkan batang2 kayu yang berasal dari Kalimantan Timur itu bisa ditemui hingga ke-pantai2 dari pulau Bunaken dan Siladen (yang terletak sekitar 5 mil diutara Manado, yang oleh rakyat setempat batang2 kayu itu dipakai untuk membuat perahu) pada setiap akhir tahun, yakni disekitar bulan2 November, Desember dan Januari setiap tahun.
4.      Dari segi bahasa, masih dapat kita temukan adanya persamaan kata2 antara bahasa Dayak Kalimantan Timur dan Bahasa Minahasa, seperti yang telah dikutip diatas sbb :
    Bahasa Indonesia                       Bahasa Dayak                           Bahasa Minahasa   
      Makan                                         Kuman                                       Kuman
      Dukun Wanita                            Balian                                        Walian
      Orang                                          To (To Nyooi/Kutai Barat)      To/Tou (Tolour)
      Berburu                                       Mangaso/Mangasu                   Mangasu
      Rakit                                            Gakit                                          Rakit      
      Ikan                                             Sada                                            Seda’
      Kepala                                         Tulu                                            Ulu’
      Gigi                                              Nipong                                       Ipeng
      Kuku                                           Sendulu                                      Sulu
      Bintang                                       Tombituwon                              Tototiwen
Satu                                             Iso                                               Esa
Dua                                              Duo                                            Rua
Tiga                                             Tolu                                            Telu
Empat                                         Apat                                            Epat
Lima                                            Limo                                           Lima
Enam                                          Onom                                          Enem
Tuju                                            Turu                                           Pitu
Delapan                                      Walu                                           Walu
Sembilan                                     Siyam                                         Siyow
Sepuluh                                      Hopod                                         Mapulu

5.      To’ar, dari namanya terlihat berhubungan dengan kata Tu’ur atau Tunggul yang merupakan sisa2 batang kayu yang masih tertinggal setelah pekerjaan merombak hutan untuk membuka pertanian ; Jadi kata Tu’ur berhubungan erat dengan masyarakat pertanian dan sesuai Legenda Versi-1 sub-4 dikatakan bahwa To’ar bekerja sebagai petani, sehingga jelas nama To’ar berhubungan dengan bidang pertanian (Dalam pengertian Tu’ur in Tana atau Tunggul yang masih tertanam ditanah), disamping ia juga berburu, sehingga makin jelas bahwa aktivitas2 dari si To’ar adalah didaratan, dan tidak melakukan pekerjaan menangkap ikan sebagai nelayan dilaut ; Oleh sebab itu Orang Belanda sebelum mengetahui nama Minahasa, menyebut Suku Minahasa sebagai “Petani Gunung” atau “Bergbeoren”. Atas dasar itu saya lebih mempunyai assumsi bahwa Toar sampai didaerah Minahasa dengan berjalan kaki dari daerah Buol/Toli2, sehingga ada nama2 tempat didaerah Buol yang sama dengan nama2 yang ada di Minahasa, misalnya :

  • Ada desa bernama Pinontoan di Buol (Yang terletak sekitar 3 km dari kota Lakea) ; Sedangkan di Minahasa Selatan ada negeri yang namanya Pinonto’an dimana Toar dan Lumimu’ut pertama kali tinggal ; Dan di Minahasa Utara didaerah Tonsea dan Bantik ada keluarga2 dengan nama fam Pinonto’an ; Jadi tidak mungkin diantara tiga tempat dengan nama yang sama tidak ada pertaliannya diwaktu dahulu.
  • Didekat Buol/Toli2 ada Pulau yang namanya Talise, demikian juga diutara Minahasa ada Pulau dengan nama yang sama Talise, termasuk di Filipina juga ada pulau dengan nama yang tepat sama. Meskipun nama yang sama terdapat juga di Filipina yang letaknya disebelah Utara Minahasa, tetapi Legenda diatas secara jelas menyatakan bahwa mereka datang dari Barat tanah Minahasa, dan bahkan Lumimu’ut dihamilkan oleh angin Barat dan bukan oleh angin Utara.
  • Di Buol ada Kampung yang bernama Mokupo, sedangkan didekat Tanawangko ada kampung yang namanya Mokupa ; Jadi jelas disini ada pertalian antara kedua daerah diatas ; Demikian juga deretan daerah2 yang telah mengalami evolusi bahasa dari Buol hingga ke Buolaang Mangondow sbb :  Buol – Buolagidun - Buolemo (Diwilayah Gorontalo) – Gunung Buoliohutu - Buola’ang Itang – dan Buola’ang Mangondow.
  • Disebelah Utara kota Leok yang merupakan Ibu kota Kerajaan Buol terdapat Tanjung Kandi yang artinya Tanjung Ikan Hiu, sedangkan kata Kandi didalam bahasa Dayak Kadazan (=Suku Dayak didaerah Sabah/ Malaysia) berarti Ikan Hiu/shark.                                                                                              

6.      Dari adanya sambungan nama2 yang sama dari Barat Jazirah Sulawesi Utara hingga ke Minahasa membuktikan bahwa ada pergerakan migrasi manusia dizaman dahulu, dan perkiraan saya bahwa Toar terdampar didaerah Buol karena terjadinya cuaca buruk akibat tiupan angin Barat yang kencang sewaktu dalam pergerakannya dari Kalimantan Timur, yang mana Ia bertolak dari sekitar pantai utara Tanjung Mangkalihat (yang artinya dari tempat dimana kelihatan karena dari posisi itu terlihat jelas gunung2 yang berada dipulau Sulawesi yakni didaerah Buol dan Toli2, serta jarak dari tanjung tersebut kedaratan Sulawesi hanya sejauh 65 mil atau sekitar 120 kilometer, serta arus dari Tanjung itu tepat mengarah ke Buol), dan selanjutnya To’ar berjalan kearah Timur sesuai Kekuatan arus pergerakan Migrasi ke Timur yang dikenal sebagai “der Drang nach Oosten” menurut Teori dari  J.H.J. Alers.
7.      Berbeda dengan Lumimu’ut dan Karema yang masih tetap selamat diatas perahu (Lihat Legenda Versi-2 sub-1 yang menyatakan bahwa Lumimu’ut terdampar dengan perahu), sedangkan keluarga2 lainnya telah meninggal, meskipun mereka termasuk keluarga Pelaut, tetapi mereka mengutamakan untuk melindungi para wanitanya.
8.      Sewaktu mereka berdiam didaratan Minahasa dan sangat mungkin tidak lagi tinggal ditepi pantai, karena kemungkinan serangan orang lain ditepi pantai lebih besar sebab lokasi pantai lebih terbuka dibandingkan dengan lokasi darat, dan apabila berdiam didaerah pegunungan maka mereka akan bisa mengintai orang lain yang datang dari pantai.
9.      Sewaktu Lumimu’ut berdiam didaerah pegunungan Lolombulan yang letaknya tidak begitu jauh dari pantai, maka muncullah Toar yang bergerak kedaerah itu dengan berjalan kaki ; Ingat untuk melihat adanya orang pada waktu itu adalah dengan cara mengamati adanya asap, maka berdasarkan ini kemungkinan besar To’ar melihat adanya asap, sehingga ia mencari tempat tersebut, dan bertemu dengan Lumimu’ut.  Dan mereka pada sebenarnya masih berbicara dalam satu bahasa yang sama, karena mereka berasal dari daerah yang sama yakni Kalimantan Timur atau berasal dari suku Dayak. Selanjutnya mereka menetap ditempat yang bernama “Pinonto’an (=Nietakan) dipegunungan Wulur-Mahatus, dan karena terjadi bencana alam maka mereka ber-pindah2 kearah utara dan akhirnya mereka menetap didaerah sekitar gunung Tonderukan, diantara Tumaratas dan Kanonang.
10.  Sewaktu mereka berada di Lolombulan yang tidak jauh dari Pantai, mereka kedatangan sekitar dua group perahu dimana masing2 ada 9 orang, dan sesuai dongeng dikatakan bahwa Lumimuut telah melahirkan dua kali kembar sembilan yang disebut sebagai “Se Maka Rua Siyow”. Kemungkinan beranak kembar sembilan pada waktu itu sangat tidak masuk diakal apalagi hingga terjadi dua kali berturut. Selanjutnya mereka kedatangan 3 group perahu dimana satu perahu terdapat satu keluarga dengan jumlah 7 orang, jadi dari 3 perahu terdapat 21 orang, sehingga group2 ini disebut sebagai “Se Maka Telu Pitu”, dan terakhir terdapat satu  group didalam satu perahu, tetapi sewaktu mereka turun dari perahu satu persatu, maka burung Manguni memberikan 9 siulan untuk setiap orang yang turun, sehingga group ini dinamakan sebagai “Se Pasiyouwan” dan bukannya Se Maka-Esa ataupun Se Makasa”. Dengan demikian terbukalah sekarang teka-teki kembar sembilan , kembar tujuh dan kembar tiga dari anak2 Si To’ar dan Lumimu’ut, dan mereka inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal Suku ataupun Bangsa Minahasa.
11.  Kedatangan Group2 migrasi dari arah barat Sulawesi Utara berlangsung secara ber-gelombang2  dalam waktu yang cukup lama, dan bahkan anak suku Bantik nanti masuk kedaerah Minahasa disekitar abad-16 dan abad-17 dimana menurut penelitian, mereka datang dari daerah Buol, yang sepertinya mereka tinggal berdekatan dengan suku Bajau ; Lokasi2 yang mereka tempati adalah dari Bolaang Mangondow : Semuit dan Tanamon, lalu ke Kalasei, Malalayang, Singkil (dikota Manado), Bailang, Buha, Bengkol, Molas, Meras, dan Talawa’an Bantik. Sesuai penelitian penulis bahwa daerah Mokupo di Buol adalah tempat tinggal orang Bajau, tetapi kampung Mokupa di Tombariri adalah tempat tinggal orang Tombariri dan Bantik yang sangat mungkin dulunya ditempati oleh orang Bajau; Letak dari kampung Talawa’an Bantik didekat Wori berdekatan dengan Kampung orang Bajau yakni Talawa’an Bajau, sehingga saya berasumsi bahwa kemungkinan besar suku Bantik adalah pecahan dari suku Bajau di Buol. Perlu diketahui bahwa orang Bantik menyebut Manado sebagai Manaro’ sama tepat dengan bahasa Sangir, sedangkan orang Minahasa menyebutnya sebagai “Wenang”. Jadi saya menjadi ragu, hingga muncul pertanyaan apakah benar suku Bantik masuk sebagai anak suku Minahasa atau bukan ?? ; Apalagi dewasa ini orang Bantik mengesampingkan penyebutan orang2-nya sebagai suku Bantik, mereka lebih mengedepankan jati dirinya sebagai Bangsa Bantik, yang menurut pengertian saya berarti mereka bukan sebagai anak suku Minahasa, karena dari segi bahasa mereka lebih mendekati ke suku Sangir dari pada kebahasa Minahasa ; Meskipun demikian mereka mengakui bahwa To’ar dan Lumimu’ut adalah moyangnya, sehingga mereka tetap harus dimasukkan sebagai anak suku Minahasa.
12.  Karena semakin lama semakin banyak jumlah keturunan dari orang2 Minahasa, maka mulailah terjadi pertikaian diantara para group karena terjadinya perselisihan perbatasan2 daerah pertanian, yang menimbulkan perkelahian dan bahkan saling bunuh-membunuh, sehingga para Tua’um Banua atau para kepala kampung masing2 berkumpul disuatu tempat lalu melakukan upacara pembagian wilayah2 pertanian kepada masing2 Poea’ yang pada waktu itu baru terdiri atas 4 Poea’ yaitu Tonsea, Tombuluk, Tountumaratas dan Tountemboan. Tempat mereka melaksanakan Minhasa Pertama (=Rapat Penyatuan Pertama atau Minahasa-I) disebut sebagai “Watu Pinawetengan” (=Batu tempat diadakan pembagian tanah Minahasa).
13.  Selanjutnya rapat2 sedemikian selalu diadakan apabila para pemimpin2 Pakasaan menghadapi permasalahan2 sehingga perlu dibicarakan dalam rapat bersama untuk menetapkan tindakan bersama apa yang harus diambil ; Dengan demikian maka semenjak dahulu kala orang2 Minahasa sudah mempunyai sistim pemerintahan daerah otonom yang demokratis melalui rapat2 Mina-Esa yang belakangan disingkat menjadi Minahasa. Dari penelitian ini membuktikan bahwa diseluruh Minahasa tidak dikenal bentuk pemerintahan Kerajaan, sehingga jelas terbukti bahwa pengaruh Hindu tidak masuk kedaerah ini diawal migrasi, yang berarti Majapahit tidak pernah sampai didaerah ini, karena tidak ada satupun legenda kuno di Minahasa yang pernah menceriterakan tentang keberadaan Kerajaan Majapahit, selain kami mengetahui kerajaan ini dari pelajaran2 sekolah yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan.
14.  Bentuk2 komunitas yang terdapat diseluruh Minahasa adalah sbb :
1). Awu = Rumah Tangga à Dikepalai oleh Ama atau Amang, yang berarti Ayah.
2). Taranak = Ro’ong àDikepalai oleh Tua’ in Taranak atau Kepala Taranak.
3). Wanua = Negory = Kampung à Dikepalai oleh Tua’ um Banua atau Ukung Tua.
4).Pakasa’an = Walak = Distrik à Dikepalai oleh Kepala Walak = Ukung Besar   atau Ukung Major.
5). Poea’ à Merupakan satu wilayah dengan dialek bahasa yang sama, misalnya : Poea’ Tonsea ; Poea’ Tombuluk ; Poea’ Toulour ; Poea’ Tonsawang ; Poea’ Tountemboan ; Poea’ Panosakan ; Poea Pasan dan Poea Bantik ; Komunitas ini tidak ada pemimpinnya karena bukan merupakan wilayah pemerintahan.
6). Rapat Persatuan Minahasa à Dipimpin oleh seorang Tona’as Wangko, tetapi tidak dalam bentuk pemerintahan, dimana Tona’as hanya memimpin sewaktu rapat Minahasa berlangsung, jadi apabila rapat selesai maka kedudukan pimpinan rapat selesai juga, terkecuali bila terjadi perang dengan bangsa lain seperti halnya sewaktu pecah perang Tondano ke-3 dengan Belanda, dimana Ukung Lonto dari Tomohon dipilih menjadi Tona’as Wangko berdasarkan keputusan rapat Minahasa yang dilakukan di Aermadidi Tonsea, dimana Ia memimpin pertempuran dan menjadi pemimpin selama perang berlangsung (1807 - 1809), hingga Ia dibuang oleh Belanda ke Ternate dan wafat disana.

15.  Demikianlah uraian tentang asal usul Suku Bangsa Minahasa melalui penter-jemahan isyarat2 dari Legenda2 yang berserakan diseluruh anak2 suku Minahasa, semoga bermanfaat, dan sangat diharapkan adanya sanggahan2 berdasarkan bukti2 yang sahih sehingga kita anak2 keturunan Toar dan Lumimuut bisa mendasarkan asal-usul kami berdasar atas argumen2 yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan, demi kemajuan bangsa ini.

 Jakarta, 23 Januari 2006

CAPT. A.H.TUMBEL
 (MASTER MARINER).

Watu PINAWETENGAN Watu Pinawetengan adalah sebuah situs batu megalitikum berukuran besar berbentuk unik dengan tulisan dan torehan yang sampai sekarang masih belum bisa diurai maknanya, namun dipercaya sebagai situs yang sangat bersejarah dan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Minahasa. Situs Watu Pinawetengan ini disimpan di dalam sebuah cungkup di lereng Gunung Soputan, Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Belokan yang menuju ke arah Watu Pinawetengan dari Jalan Minahasa – Langowan, yang saat itu tertutup karena tengah dalam perbaikan. Perbaikan jalan ini tampaknya berkaitan dengan sebuah acara yang akan diselenggarakan pada 7 Juli lalu di Watu Pinawetengan. Lokasi belokan ada pada posisi GPS: 1.19522, 124.79406.
Mobil pun lalu berjalan terus ke arah selatan sejauh beberapa puluh meter sampai menemukan belokan ke arah kanan, sebagai jalur alternatif menuju ke arah Watu Pinawetengan.




Memandikan kuda dengan air pegunungan yang jernih. Pemandang lain saat menuju Watu Pinawetengan. Bendi yang ditarik seekor kuda masih merupakan alat transportasi yang banyak ditemui dan disukai di wilayah ini.


Sebuah bangunan di atas perbukitan di sebelah situs Watu Pinawetengan, dengan tempat duduk bertingkat di bawahnya yang dipergunakan para pengunjung untuk melihat upacara adat tahunan yang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli oleh Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, yang diantaranya mengambil tempat di area yang terlihat di latar depan.


Cungkup putih berbentuk tutup waruga yang disangga 9 tiang bercat merah, dengan patung burung Manguni di kedua puncaknya. Di bawah cungkup waruga inilah, di dalam sebuah lubang besar, tersimpan situs Watu Pinawetengan. Tidak lama setelah kami tiba, datanglah Ari Ratumbanua, petugas penjaga situs Watu Pinawetengan yang ramah dan menemani kami selama berkunjung ke situs ini.


Sebuah poster menempel di dinding bangunan cungkup waruga yang menceritakan kisah seputar batu bersejarah Watu Pinawetengan.
Alkisah, seperti tercatat pada poster itu, keturunan To’ar Lumi’muut (nenek moyang orang Minahasa) telah berkembang memenuhi wilayah pemukiman awal mereka, yaitu Tu’ur in Tana. Sampai suatu ketika datang musibah serta bencana alam beruntun yang menjadi peringatan agar mereka mengosongkan Tu’ur in Tana dan menemukan lahan penghidupan baru.
Atas petunjuk Manguni mereka harus berjalan menentang jalannya matahari, yaitu ke arah Timur dan lalu berbelok ke arah Utara dan sampai di sekitar Sumeseput. Menurut mitos para leluhur orang Minahasa, Burung Manguni (mauni berarti mengamati) adalah ciptaan Opo atau Roh paling atas penguasa langit dan bumi. Opo Empung Wananatas menugaskan burung Manguni untuk menjaga keselamatan keturunan Toar-Lumimuut dengan berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur, dan diberi kemampuan bersiul dengan bunyi berbeda untuk menandai keadaan aman atau bahaya.
Setelah melalui berbagai rintangan dan penderitaan, mereka tiba di sebuah perbukitan yang dinamai Tonderukan dengan pemandangan yang sangat indah dan lahan luas yang amat subur. Sesuai petunjuk Manguni – Makasiyow, di salah satu sisi tempat itu tegaklah Gunung Soputan (Semesepul). Para Kumeter, pemimpin mapalus, pun segera membangun pemukiman di sebuah tempat yang dinamai Ranolesi, yang terletak diantara Desa Tumaratas dan Tou’ure sekarang.




nilah salah satu bagian atas Watu Pinawetengan dengan goresan-goresan pada permukaannya, yang diantaranya berbentuk tubuh manusia, alat kelamin, dan goresan lain yang artinya masih belum bisa diungkap para ahli purbakala. Tulisan berlambang ini, menurut Ari Ratumbanua, mirip dengan tulisan yang di temui di Gua Angona di Filipina.
Di tempat hunian baru, para Walian menyiapkan upacara kurban syukur, dan mencari tempat untuk mendirikan tumotowa, sebuah batu yang menjadi mezbah (altar) ritual sekaligus menandai berdirinya pemukiman suatu komunitas. Walian adalah orang tua yang dianggap dapat berhubungan dengan roh para Apok (leluhur yang dianggap berkuasa di suatu daerah yang selalu dihormati, disembah dan dipuja).


Sisi lain dari Watu Pinawetengan, dengan sebuah undakan terlihat di sisi atas yang dipergunakan untuk turun ke dasar lubang dimana Watu Pinawetengan berada.
Watu Pinawetengan inilah yang dijadikan tumotowa oleh para leluhur Minahasa di tempat baru, yang merupakan sebuah altar alamiah berupa batu besar memanjang dari timur ke barat. Pada saat ditemukan, di atas batu besar ini bertengger burung Manguni, sementara batu-batu lain di sekitarnya ditunggui oleh ular hitam. Batu besar ini lalu dinyatakan sebagai tumotowa wangko (mezbah atau altar agung).
Dengan dipimpin Tonaas Wangko mereka pun melangsungkan upacara dengan kurban bakaran sangat banyak berupa sejumlah hewan hutan hasil buruan para waraney. Waraney adalah orang-orang terpilih, yang menjadi prajurit sesudah terlebih dahulu membuktikan kepiawaian dan keahlian dalam berkelahi dan bertempur.
Di Watu Pinawetengan inilah dicetuskan “Nuwu i Tu’a” (amanat yang dituakan) atau yang kemudian lebih terkenal sebagai Amanat Watu Pinawetengan, yaitu: Bahwa tanah ini adalah milik kita bersama. Sesuai petunjuk Sang Manguni. Bagi-bagikanlah tanah ini. Rambahilah tapa-tapal batas baru lahan penghidupan, wahai pekerja! Kuasai dan pertahankanlah wilayah, wahai satria! Agar keturunan kita dapat hidup dan memberi kehidupan! Akad se tu’us tumou o tumou tou !



Inilah bentuk utuh Watu Pinawetengan yang bagi sebagian orang menyerupai bentuk orang bersujud, sedangkan bagi orang lain menyerupai peta daerah Minahasa. Watu Pinawetengan ini tingginya 2 meter dengan panjang 4 meter.
Oleh para leluhur, altar atau mezbah utama ini disebut Watu Pinawetengan (yang berarti Batu Tempat Pembagian), karena di batu inilah dirundingkan dan diamanatkan pembagian wilayah pemukiman baru bagi sembilan sub etnis Minahasa yang meliputi suku Tontembuan, Tombulu, Tonsea, Tolowur, Tonsawang, Pasan, Ponosakan, Bantik dan Siao. Selanjutnya Watu Pinawetengan ini menjadi tempat pertemuan para pemimpin anak-anak suku bangsa Minahasa setiap kali mereka menghadapi persoalan besar dan membutuhkan pengukuhan kembali setia maesaan (persatuan).



Batu berukuran lebih kecil di sekitar Watu Pinawetengan yang konon sewaktu ditemukan ditunggui oleh ular hitam. Selama berabad-abad lamanya Watu Pinawetengan ini sempat hilang ditelan bumi, meskipun demikian di atas tempat tersebut para Walian dari generasi ke generasi selalu datang melangsungkan upacara adat.
Penggalian Watu Pinawetengan dilakukan tahun 1888, sesuai hasil analisa J.A.T. Schwartz dan J.G.F. Riedel (masing-masing adalah putra Pdt. J.G. Schwartz dan Pdt. J.F. Riedel – dua misionaris yang berperan penting menginjil Minahasa), berdasarkan petunjuk sejumlah tuturan dan sastra lisan yang diwarisi dari orang-orang tua.
Rangkaian tulisan di atas tertera pada poster yang menempel di dinding cungkup waruga Watu Pinawetengan yang dibuat Dr Benny J. Mamoto, Ketua Umum Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, dalam rangka upacara adat tahunan pada 07-07-2007 .






Dari pembicaraan dengan Fendy Parengkuan, dosen Universitas Sam Ratulangi di Tondano Minahasa, secara sederhana ada dua pesan inti yang dicetuskan oleh para pemimpin suku yang bertemu pada sekitar abad keempat di Watu Pinawetengan ini sebelum mereka berpisah.
Pesan pertama adalah: Pute Waya, yang artinya ‘semua sederajat’. Iniliah akar budaya Minahasa yang menanamkan konsep demokratis, sehingga tidak pernah ada kerajaan besar dengan budaya feodal di daerah Minahasa. Para pemimpin suku selalu dipilih secara demokratis dengan persyaratan yang ditentukan oleh kelompok. Jika pemimpin tidak lagi memenuhi persyaratan, mereka bisa diganti, dan tidak bersifat turun temurun.
Pesan kedua adalah Nuwu I Ngeluan: Sa kita esa, sumerar! Sa kita sumerar, esa kita! Yang artinya adalah: kalau kita sudah benar-benar merasa satu, marilah kita menyebar! Kalau pun kita tersebar kemana-mana, satu kita!
Watu Pinawetengan bisa saja hanya berbentuk sebuah batu besar yang tidak bernyawa dan masih menyimpan misteri, namun makna keberadaannya tampaknya sangat dalam karena dari sinilah bermula akar budaya Minahasa yang demokratis, serta konsep persatuan yang mendasari hubungan antar suku di Minahasa, yang diperkuat dengan keyakinan bahwa “Torang samua basudara”.
To be Continued▬>Arti Gambar-gambar di Watu Pinawetengan

3 komentar: